Ekspedisi Kecil

8 September kemarin, aku Fikri dan Sha datang ke ISBI untuk riset lebih lanjut mengenai Pagelaran Budaya Nusantara, dengan riset, yang dimaksud adalah membaca buku-buku di Perpustakaan ISBI dan meriset beberapa mahasiswa yang sedang ada di kampus. Dari sekolah, aku Fikri dan Sha berjalan lewat Babakan Jeruk dan menyegat angkot jurusan Gn. Batu-St. Hall bersama Nathan, Tia dan Nathan. Saat kami melewati Giant, kami melihat bahwa dua kelompok lain masih menunggu angkot. Angkot kami sudah penuh, jadi mereka hanya bisa menunggu angkot selanjutnya. Setelah sekitar 20 menit, kami tiba di kawasan Kebon Kawung, di mana kami turun dan naik angkot jurusan Gede Bage-St. Hall. Sampai sana, harga angkot per orangnya Rp3.000. Lalu, kami  naik angkot Gede Bage-St. Hall. Harganya jatuhnya lebih mahal; Rp5.000 karena jaraknya lebih jauh ketimbang angkot pertama. Supir angkotnya bilang juga, kalau ke Buah Batu memang mahal, karena kalau sudah di daerah sana, baliknya jauh dan macet lagi.
Setelah sekitar setengah jam kami sampai di depan kampus ISBI. Kak Nala dan Kak Diki sudah berada di ISBI sementara kedua kelompok yang lain belum.
Kami bersantai sementara menunggu mereka datang.

 Saat mereka datang, kami semua langsung ke Perpustakaan di mana kami disambut oleh pengelola perpustakaan, Bu Titin. Kami menulis nama-nama kami dalam database lalu dijelaskan letak-letak bukunya. Aku dn teman-teman yang lain semua diundang untuk naik ke lantai dua, di mana ada lebih banyak buku lagi. Kelompokku memilih buku Nusa Tenggara Timur (Iya, judulnya Nusa Tenggara Timur. Di halaman kedua ada muka Pak Soeharto sama pendahuluan dari beliau). Ternyata, di buku tersebut tak banyak perincian mengenai pagelaran ataupun seni tari, dan malah banyaknya cerita tentang sisi ekonomi dan politiknya. Kami hanya mendapatkan beberapa referensi tarian, yang kemudian kami riset kembali di buku-buku lain. Setelah membaca buku tersebut, aku Sha dan Fikri sepakat untuk meriset masing-masing salah satu aspek dari kebudayaan NTT.
Aku mencari upacara adat, Sha mencari tarian adat sementara Fikri mencari cerita rakyat. Aku mendapat sejumlah informasi, salah satu yang kuanggap sangat menarik adalah bahwa masyarakat Sumba memiliki kepercayaan di mana Sang Pencipta berkelamin ganda, dan disapa sebagai Inya Walo Hungga (Ibu Pemintal Gombak) dan Bapa Rawi Lindu (Ayah Pelebur Mahkota).

 Setelah istirahat pertama (sekitar jam 11.00), kami keluar dari perpustakaan dan masuk ke lingkungan kampus untuk mewawancarai warga lingkungan kampus.
 Dari semua orang-orang yang kami wawancara, aku bisa menarik kesimpulan bahwa mereka semua menganggap di Indonesia, sudah banyak bentuk pelestarian budaya, mulai dari pagelaran di acara seperti PON, hingga banyaknya sanggar tari yang sudah dibuka. Namun, mayoritas masyarakat masih tidak mengerti bagaimana melestarikannya walaupun sudah banyak upaya dari beberapa komunitas dan pemerintah dsb. Menurut orang-orang yang kami wawancara, budaya di Sunda itu sangat terpengaruh oleh kebudayaan agraris; bajunya yang menyerupai baju kerja petani (baju pangsi) dan warna-warnanya yang didapat dari warna padi dan tanaman (hijau, kuning, cokelat) lalu banyak juga warna dan kostum yang terinspirasi oleh hewan, walaupun itu adalah gagasan yang cenderung modern (Tari Merak).

Beberapa orang yang kami wawancara bisa menyampaikan makna dibalik pagelaran Nusantara, misalnya kalau Jaipongan menunjukkan cantiknya, elegannya dan sisi feminin serta maskulin orang Sunda (walaupun biasanya ditarikan wanita, pria juga boleh menarikan Jaipong). Lalu, ada yang bercerita bahwa Karawitan berasal dari kata "Rawit", atau kata untuk "kelembutan" dalam bahasa Sansekerta. Bukan rawit cabe, beda lagi itu.
Banyak dari mereka yang memiliki filosofi pribadi, misalnya dalam Karawitan mereka harus belajar untuk koordinasi dengan pemain lain tanpa berbicara, dan tanpa disadari iapun menerapkan hal itu ke dalam kehidupannya.

Karena kebanyakan mahasiswa di sana tak hanya fokus pada Seni Tari & Karawitan; melainkan ada yang DKV, Film, dan Fashion Design, tentu kami tidak bisa hanya bertanya mengenai unsur kearfifan lokal dan sejarah berbagai pagelaran, karena yang tahu hal-hal itu lazimnya hanya mahasiswa-mahasiswi dari jurusan Karawitan dan Seni Tari. Jurusannya DKV mana tahu tentang sejarah dibalik Tari Perang Pasola. Jadi, kami mencoba mencari apa yang berkaitan dengan pagelaran dan jurusan mereka. Contohnya, kalau jurusan DKV bisa ditanya mengenai bagaimana cara menggabungkan budaya dengan desain, atau biasanya bagaimana mereka merancang media publikasi untuk acara-acara pagelaran atau festival budaya.
Kalau jurusan Fashion Design, kami bertanya seputar bagaimana biaya kostum, apa saja unsur-unsur dalam kostum biasanya (kemben, mahkota, samping, dsb) lalu juga warna yang ada pada kostum, dari mana inspirasi untuk kostum-kostum tarian dan mengapa desainnya seperti itu, apa saja hal yang mempengaruhinya dan lain sebagainya.
Kami selesai mewawancarai 6 orang (lebih, kalau dihitung sama teman-temannya yang nyerocos sih) sekitar jam 13.30-14.00. Sehabis itu, ada waktu istirahat sebelum briefing. 
Selain berbagi cerita yang kami dapatkan dan cerita pengalaman, kami juga membahas bentuk akhir proyeknya apa. Sebenarnya sih, kami sudah tahu hasil akhirnya berbentuk infografik, namun ada pilihan untuk apakah kami mau mengerjakannya secara mandiri atau tetap berkelompok. Aku, sebagai orang yang lebih memilih kerja sendiri langsung angkat tangan. Begitupun dengan Tia yang duduk sebelah aku.  Pada awalnya masih banyak yang ragu-ragu, tapi lama kelamaan hampir semua ingin sendiri, hanya Ara saja yang tidak mau. Jadi akhirnya secara de facto disepakati kalau kami semua akan tetap berkelompok.
Aku kesal waktu itu, karena menurutku alasan-alasan kami yang ingin mengerjakan sendiri jauh lebih valid daripada jawaban Ara yang katanya "gak mau sendiri, kan kelompok aku cuman dapet 2 pagelaran, kalo misalnya sendiri ntar aku gak dapet" sementara dia dengan mudah bisa mendapatkan informasi dari Internet atau buku-buku di perpustakaan Smipa. Lagian, berubah juga pagelaran budayanya, tidak memilih yang sudah diriset di ISBI,
Tapi akhirnya aku pasrah saja dengan keputusan mengerjakan bersama-sama. How bad can it be?

Comments

Popular posts from this blog

Kunjungan ke Rumah Kerabat

Nyaba Lembur: Our Live In Experience (MEP #3)

Mid Semester Exhibition