Kunjungan ke Rumah Kerabat
Saat tanggal 6 kemarin, aku berkunjung ke
rumah teman dekat orangtuaku, Tante Fridia. Tante Fridia ini juga kerap disebut
sebagai Tante Kemprit oleh beberapa orang. Menuju ke rumah Tante Fridia, aku
naik angkot Cicaheum-Sarijadi dari Setrasari Mall, lalu turun di Pasar
Sarijadi, dan jalan menuju perumahan Setraduta.
Disana, aku langsung disapa oleh keluarga itu
dan mulai berbicara dengan ringan. Tante Fridia ini adalah orang asli Bandung,
lahir dan besar di kota kembang. Sedari SD, ia bersekolah di sekolah yang sama
sampai SMA—Santa Angela. Dari sinilah ia mengenal beberapa orangtua Semi Palar,
diantaranya Tante Citra, ibunya Ravi dan tante Vinca, ibunya Marcel. Ia juga
mengenal Kak Ine, dari masa-masa sekolahnya.
Tante Fridia sendiri mengenal orangtuaku dari
komunitas saat kuliah, GEMA. GEMA ini singkatan dari “Gereja Mahasiswa”, dimana
yang mengurusi komunitas gerejanya merupakan mahasiswa/i.
Tante Fridia ini seorang psikolog anak, yang
berspesialisasi dalam anak-anak dengan kesulitan bersosialisasi dan kesulitan
belajar dengan irama yang sama dengan kelasnya. Namun ia juga menerima anak-anak
yang merasa kesepian. Sebenarnya,
cita-citanya sedari kecil selalu berhubungan dengan binatang. Antara menjadi
seorang zoologis atau dokter hewan. Saat SMApun, ia mengambil jurusan Biologi,
karena ketertarikannya pada hewan. Namun suatu ketika, saat anjing milik
saudaranya sakit, ia tidak tega melihat anjing sakit tersebut menderita, dan
ketika itu ia sadar kalau mungkin, ia memang tidak bisa kerja sebagai dokter
ataupun zoologist.
Namun, walaupun begitu ia juga masih
mendaftarkan diri untuk jurusan Kedokteran Hewan di IPB. Selain itu, ia juga
mendaftarkan diri di jurusan Psikologi Maranatha, dan itu yang ia pilih sebagai
jurusannya. Karena masih menggunakan kurikulum lama, setelah lulus ia segera
menjadi psikolog.
Namun, sekitar 5 bulan setelah memasuki
jurusan Psikologi, ia mengikuti UMPTN untuk jurusan Jurnalistik di Unpad, dan
lulus. Setelah itu, Tante Fridia menyeimbangi kuliahnya di kedua bidang
tersebut. Namun, memasuki semester-semester terakhir, dimana ia menemui
berbagai kegiatan kuliah yang mengharuskan dia untuk kerja ke lapangan, ia
mulai kewalahan dan memutuskan bahwa ia harus memilih diantara Psikologi, atau
Jurnalistik. Setelah berbicara dengan ibunya, iapun memutuskan untuk tetap
mempertahankan jurusan Psikologinya, dan melepaskan jurusan Jurnalistiknya.
Bukannya ibu Tante Fridia tidak mendukung
jurusan Jurnalistik—Tante Fridia sendiri menyampaikan sendiri kalau ibunya
tidak pernah melarangnya untuk mengejar ilmu—segala jenis ilmu berguna, dan
tidak ada yang buruk untuk digeluti. Namun Tante Fridia melihat kalau ibunya
lebih khawatir kalau ia terus mengejar ilmu Jurnalistik, karena diawal
pekerjaan, ia memang tidak bisa memilih pos
ia ditempatkan.
Memang jelas, ibu Tante Fridia khawatir jika
ia akan ditempatkan di medan perang, atau pedalaman. Walaupun Tante Fridia
sendiri sangat nyaman dengan apapun yang akan diberikan kepadanya, ia tidak mau membuat sanak saudaranya
khawatir atau tidak nyaman.
Selain itu, pekerjaan setelah lulus di bidang
Psikologi juga lebih pasti, dan tetap, beda dengan pekerjaan di bidang
Jurnalistik yang cenderung tidak bisa ditebak. Di saat itu, Tante Fridia cukup
kecewa dengan pilihan itu, tapi sekarang dia puas dengan pilihannya.
Saat berbicara tentang pekerjaannya, ia
menceritakan seorang anak perempuan yang dahulu pernah datang berkonsultasi
kepadanya. Menurut Tante Fridia, anak ini mirip sifatnya denganku, dan ia
berpikir aku mau mendengar kisahnya. Memang, kisahnya cukup seru dan akupun
bisa melihat kemiripan antara kami, walaupun aku tidak kenal dengannya.
Anak ini datang bersama ibunya ketika ia masih
berumur 10 tahun, karena ia dulu kerap ditindas oleh anak-anak sekelasnya. Hal
ini menyebabkan ia disekolahkan di rumah oleh ibunya. Namun karena ini, ia
kerap merasa kesepian dan tidak memiliki teman, dan jika berteman dengan anak
sepantarannyapun ia merasa berbeda.
Dia juga memiliki ketertarikan khusus di
bidang filsafat, dan di umur 15, ia sudah masuk jurusan Filsafat di UI. Ia
menjadi lulusan termuda di UI pada tahun kelulusannya. Sampai sekarangpun, ia
masih kerap merasa berbeda, karena kebanyakan orang di jurusannya hanya masuk
Filsafat karena ingin dicap sebagai anak yang keren dan pintar, bukan karena
memang tertarik.
Sekarang, ia mendapat beasiswa ke luar negeri
untuk mempelajari Feminisme, dan juga direkrut oleh Om Yanuar (seorang teman
orangtuaku dan Tante Fridia) untuk bekerja di bidang politik. Aku berpikir
cerita ini sangat menarik, dan memang lumayan mirip denganku.
Setelah berbicara mengenai hal-hal berbobot
ringan sebagai pembuka, aku mulai berani menanyakan pertanyaan yang sukar dan
lebih dalam. Salah satu pertanyaanku mencakup diskriminasi di Indonesia. Tak
disangka, jawaban Tante Fridia sangat terbuka dan sangat mendukung. Saat aku
bertanya mengenai kaum LGBTQA+, yang memang cukup marak di Indonesia saat ini,
ia tersenyum karena ia memang tahu tentang betapa aku mendukung hak kaum yang
di diskriminasi seperti ini.
Tante Fridia menyampaikan kalau ia sangat suka
dengan tulisanku mengenai LGBTQA, dan katanya, apa yang ia pikkirkan mengenai
mereka sudah dituliskan oleh aku. Ia juga menyebut bahwa dalam beberapa
perdebatan di kelompok Whatsapp dengan teman-temannya perihal ini, ia ingin
sekali mengirimkan tulisanku, namun tidak pernah melakukan itu karena 1) Ia
merasa harus meminta izin dariku dahulu, padahal aku senang-senang saja kalau
ia melakukan itu, walaupun tanpa izin. 2) Ia menyampaikan sebuah kutipan dari
Anthony De Mello, “Ngapain mengajarkan babi bernyanyi?”. Maksud dari kutipan
itu adalah, untuk apa mendidik orang-orang yang tidak ingin mengerti, atau
meluaskan pola pikirnya? Toh mereka tidak ingin berubah juga, hal itu hanya
akan menyita energi.
Sebagai seorang psikolog juga, ia kerap
menemui anak-anak dengan autisme, dan mereka dalam hidupnya juga kerap mengenal
diskriminasi. Memang, menurut Tante Fridia masih sering sekali anak dengan
autisme ditangani dengan buruk. Bukannya ditemani dalam proses, mereka malah
disemangati dan dicemooh saat tidak bisa melakukan yang disuruh. Menurut Tante
Fridia, anak dengan autisme harus didekati secara pelan, dan hanya ditemani
dalam prosesnya.
Salah satu anak yang memiliki autisme pernah
datang, karena ia belum bisa berbicara di usia 7 tahun. Lalu, pada saat ia
berumur 10 tahun, ia kembali lagi dan sudah lancar berbicara dalam Bahasa
Inggris yang dia pelajari secara otodidak. Cerita itu membuktikan kalau anak
autisme bisa mengembangkan talentanya sendiri, tanpa banyak bantuan.
Mengenai diri sendirinya, ia mengenang bahwa
beberapa orang sering mengatakan hal-hal seperti “Kemprit, lo kok cina tapi mikirnya bisa gitu ya?”. Hal-hal seperti
itu memang dimaksudkan sebagai pujian, dan ia menerimanya dengan berterima
kasih, namun masih suka heran dengan statement
tersebut, karena cara orang berpikir harusnya tidak dibatasi oleh rasnya.
Tante Fridia sendiri menilai bahwa karena dari kecil ia sudah berteman dengan
kelompok orang yang berbeda-beda, ia lebih menerima dan openminded.
Setelah aku merasa puas dengan semua jawaban
yang aku tanyakan, aku akhirnya bertanya, “Apa itu kebahagiaan untuk Tante
sendiri?”. Menurutnya, kebahagiaan adalah fullfillment
dan content. Maksudnya, ialah
kebahagiaan untuknya adalah dengan bersyukur kalau hidupnya sudah cukup, puas dengan
keadaannya, dan menerima semua yang diberikan kepadanya dengan lapang.
Tante Fridia sendiri tidak pernah merasa “Kok aku tidak begini ya”, atau hal-hal
seperti itu, karena sudahterbiasa untuk berterima kasih ataas semua hal. Tentu,
dia masih menginginkan beberapa hal, seperti bepergian ke Macchu Picchu,
kuil-kuil di Jepang dan Nepal, dan Kanada. Namun, dia selalu merasa bahagia dan
fullfilled dengan kehidupannya, dan pada
akhirnya, itulah kebahagiaan untuknya.
Setelah itu, dia berkata kalau sekarang ia
juga penasaran dengan diriku, dan bergantianlah, aku yang ‘diwawancara’. Ia
bertanya mengenai apa cita-citaku sendiri, dan aku berkata kalau slaah satu
cita-citaku adalah untuk bekerja di UNESCO. Ia bertanya, mengapa tidak di
UNICEF atau WHO. Akupun menjawab kalau di kedua bagian itu, aku kemnungkinan
harus menyaksikan banyak penderitaan, dan aku benar-benar tidak tahan
melihatnya. Lalu, aku juga sangat menyukai budaya, ilmu dan arsitektur tua. Aku
juga bercerita bahwa aku ingin sekali bersekolah di Paris, khususnya di
Sorbonne. Namun aku juga akan melihat UGM atau UI untuk S1nya.
Aku mungkin akan bersekolah di St. Angela
untuk SMA, atau juga SMA Negeri, antara 5, atau 2. Lalu aku juga bercerita
tentang bersekolah di Semi palar, dan apa yang mungkin akan terjadi saat Ara
(anak Tante Fridia) lebih besar. Setelah sekitar 2 jam disana, aku sudah
selesai mewawancara dan diwawancara. Aku lalu dijemput oleh mamaku, dimana mama
dan Tante Fridia lalu berbicara sebentar. Setelah berterima kasih, aku lantas
pulang, dengan pengetahuan baruku mengenai teman orangtuaku ini.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteHalo Kasistha. Saya sedang mencari tahu tentang Ibu Fridia karena saya dulu pernah berkonsultasi dengan beliau beberapa tahun yang lalu dan menemukan blog kamu. Cerita tentang anak yang masuk kuliah di Filsafat UI ini sepertinya sama persis dengan cerita hidupku (dan sekarang aku berkuliah di luar negeri mengambil jurusan yang beririsan dengan feminisme) apa jangan-jangan memang Ibu Fridia bercerita tentang aku? Hehe. Boleh kah aku bertukar kontak denganmu? Aku ingin membaca tulisanmu tentang LGBTIQA+ dan mungkin bertukar pikiran? :) emailku: amira.ruzuar(at)gmail(dot)com
ReplyDelete