Bagaimana Sungai Membangun Manusia
![]() |
Sungai Thames, London adalah salah satu sungai terbersih di dunia. |
“Bagaimana
Sungai Membangun Manusia”. Judul slideshow
yang disusun oleh sang narasumber. Kemarin, ada seorang narasumber bernama
Kak Dodi yang memberi ke 17 anggota Malabar berbagai informasi mengenai sungai
di Indonesia. Beberapa informasi yang ia sampaikan, diantaranya yakni mengenai
‘normalisasi’ sungai Ciliwung. Perhatikan bagaimana aku memberikan tanda kutip
di kata normalisasi?
Karena, apa yang disebut sebagai normalisasi sungai oleh
pemerintah ibukota, jauh dari normalisasi yang harusnya. Selain itu, Kak Dodi
menyampaikan kisah-kisah mengenai Kali Code, Yogyakarta yang tenar. Kali Code
ialah sebuah daerah perumahan tepi sungai yang terkenal karena saat hendak
dijadikan RTH, diselamatkan oleh alm. Rama Mangun (Y.B.Mangunwijaya). Beliau
menyemangati warga Kali Code, dengan pesan yang kira-kira berbunyi “Ayo,
katanya mau jadi kawasan bersih, buktikan dong!”. Dengan dorongan itu dan desain
Rama Mangun yang memang merupakan seorang arsitek, Kali Codepun di
revitalisasi.
![]() |
Kampung Kali Code yang berwarna-warni meriah. |
Singkatnya, Kak Dodi (yang juga adiknya Kak
Danti), menceritakan mengenai semua kisah penertiban sungai, normalisasi,
revitalisasi, dan sebenarnya apa yang bisa dilakukan oleh warga tepi sungai
kalau mereka benar-benar berusaha. Contohnya, Kali Winongo. Mereka murni
didorong oleh keinginan mereka untuk merapikan lingkungan mereka. Dengan
dibantu oleh beberapa arsitek, mereka sanggup merevitalisasi lingkungan yang
biasanya tidak dilirik orang-orang.
Dari Kak Dodi, tentunya aku mengetahui
beberapa hal baru, yang lalu membuat aku penasaran, sehingga aku mencari
informasi lebih lanjut. Tentunya, aku tahu mengenai alm. Rama Mangun dan
programnya di Kali Code. Selain arsitektur, belaiu juga memeprbaiki kualitas
pendidikan di Kali Code. Berdasarkan kepenasaranku, aku menjadi tahu mengenai
karya sastra yang ditulis beliau, dan penghargaan yang beliau raih. Akupun
menjadi tahu akan karya-karya arsitekturnya yang lain—Gereja Katolik Cilincing
di Jakarta, Gedung Keuskupan di Semarang dan Gereja Katolik Jetis, Yogyakarta.
![]() |
Museum Romo Mangun, di Jogoyudan Code, Gondolayu. |
Selain itu, aku tahu tentang penyebab banjir
di daerah ibukota, yang lebih sederhana daripada tanggul yang bocor—satu hal
yang selama ini kita sadari, yaitu normalisasi sungai. Begini, normalisasi
sungai pertama dimulai dengan menggusur orang-orang di tepi sungai. Dengan
begitu, level air bisa lebih tinggi karena tidak ada perkampungan. Lalu,
dipasang dinding-dinding beton untuk membatasi sungai dan daratan, dengan harapan
saat banjir melanda, airnya akan ditampis oleh dinding beton tebal tersebut.
Namun, entah mengapa, hal ini tidak dipikirkan dengan baik-baik. Karena adanya
dinding ini, air hujan tidak dapat meresap ataupun mengalir ke dalam sungai,
sehingga kawasan tepi sungai yang hendak dibuat anti-banjir tetap mengalami
banjir.
Aku juga tahu mengenai Kali Winongo, jadinya.
Kali Winongo diatur oleh sebuah komunitas yang dibentuk atas dasar warga yang
selalu berkesah mengenai kotornya Kali Winongo. Dengan bermodal awal
pembersihan sampah sungai, dimana sampah organik dijadikan kompos, Kali Winongo
menjadi salah satu kawasan yang sangat bersih dan rapi. Di Kali Winongopun
kerap diadakan acara-acara festival, dengan kompetisi memancing, bazaar, dan
juga berbagai atraksi adat.
Aku yakin bahwa sebelumnya, aku pernah
mendengar mengenai Cikapundung Rehabilitation Program, dan apa yang mereka
lakukan. Akupun sebenarnya juga sudah sadar bahwa sungai Cikapundung kami ini
dijadikan lahan bermain arung jeram. Tapi, begitu aku mendengarkan cerita dari
seseorang yang mengalaminya sendiri, aku baru bisa membayangkan berarung jeram
di Cikapundung. Dari melewati batu-batu, sampah, dan belum lagi limbah yang
keluar dari pipa rumah warga. Walaupun terdengar seru, aku sepertinya belum
tertarik mencobanya.
Yang aku benar-benar sukai dari presentasi si
narasumber tentulah saat ia bercerita mengenai Arsitek Komunitas. Arsitek
Komunitas, yang berawal dari Yogyakarta adalah sebuah komunitas yang membantu
masayarakat untuk memetakan kampung yang rapi. Salah satunya, ialah Kampung
Winongo. Aku menyukai Arsitek Komunitas ini karena mereka melibatkan masyarakat
dalam proyeknya lebih sebagai subyeknya, dibandingkan pendengar saja. Mereka
dilibatkan dalam proyek ini karena mereka sendiri yang mengetahui apa yang
terbaik untuk mereka, dan dengan begitu, para ArKom berpikir kalau masyarakat
akan mendesain tempat hunian mereka, dan para Arkom hanya membantu mereka untuk
mewujudkannya. Aku sangat terkesima dengan sifat mereka yang pastinya down to earth. Mereka punya kemampuan
untuk sukses besar dan memiliki uang yang banyak sebagi arsitek, namun mereka
memutuskan untuk turun ke lapangan dan membantu wong cilik. Untukku, itu satu hal yang patut diapresisasi.
Dari semua hal yang diceritakan Kak Dodi, aku
mulai lebih optimis kalau sebenarnya negara kami bisa berubah, dengan dorongan
yag benar dan tekad yang kuat. Kita lihat saja dalam 10-20 tahun ke depan,
apakah memang benar—orang Indonesia bisa berubah?
Good Job! Ditunggu post-post berikutnya :)
ReplyDelete